Di sana Program Menggaung, Meringis di sini

Ditulis oleh: -

- Anak Desa Terpencil Tak Mampu Sekolah


Lantaran tidak memiliki biaya, Oktavia terpaksa menanggalkan mimpinya untuk menikmati bangku SMP. Sekarang, ia bekerja untuk “netting” di plasma (cabang perusahaan bulu mata di desa-desa) bulu mata palsu yang tak jauh dari rumahnya di Desa Cendana, Kecamatan Kutasari.


Sedari kelas III SD, ia selalu menjadi yang terbaik di kelasnya. Namun, kini, perempuan kecil itu terpaksa menanggalkan impiannya duduk di bangku SMP.

Sudah beberapa bulan terakhir, pemilik nama lengkap Oktavia tersebut, menghabiskan lebih dari separuh harinya untuk “netting” bulu mata palsu di plasma yang tak jauh dari rumahnya. Setiap hari.

"Sebenarnya, masih ingin sekolah, tapi ternyata tidak bisa," tandas lulusan SD 2 Cendana, Kecamatan Kutasari yang karib Opi kepada Suara Merdeka, Sabtu (1/10).

Ya, menjadi bukti nyata betapa prestasi ciamik semasa di sekolah dasar sama sekali tak menjamin mulusnya jalan bersekolah. Sekalipun selalu ada gembar-gembor program Wajar Dikdas Sembilan Tahun.

Ayah Opi, Winarji tidak menutupi hasrat bersekolah anak keempatnya. Akan tetapi, pada akhirnya, ia harus memupuskan asa Opi yang juga dikenal piawai menggambar.

Winarji yang hanya buruh serabutan, merasa kesulitan untuk membayar biaya pendaftaran dan kebutuhan bersekolah. Bahkan, bila Opi benar-benar sekolah, ia tak menjamin Opi akan bisa bertahan hingga tiga tahun.

Pasalnya, jarak antara rumahnya di Dusun Purwadadi, Desa Cendana, Kecamatan Kutasari, dengan sekolah tak pendek. Sekitar 5 km. Tak hanya itu, tidak ada kendaraan umum yang melalui jalan yang disebut warga sudah mirip sungai kering ini.

Karena itulah, ia tidak yakin bisa memenuhi biaya "transportasi" semacam itu. "Nyatane tiang ora nduwe, rekasane mboten lumrah," kata bapak lima anak yang tengah mengidap batuk.

Ironisnya, Opi tidak sendirian. Masih ada sejumlah anak di desa tersebut yang terpaksa mengandaskan mimpinya untuk memperoleh pendidikan di jenjang lebih tinggi. Masih ada Satim, yang tidak bukan tetangga Opi.

Ironis

Belum lama, Satim merantau ke Jakarta. Namun, kemudian ia memilih pulang kampung. Sialnya, saat pulang ke pelukan ibunya, Satim justru terkena thipus. Sedangkan orang tuanya tak mengantongi uang sepeserpun.

Beruntung Mahasiswa Ilmu Sosiologi Fisip Unsoed, Aulia El Hakim bermain ke Dusun Purwadadi dan menjumpai kondisi memilukan Satim. Pulang ke Purwokerto, Hakim dan teman-temannya mengumpulkan dana untuk berobat.

Ia berhasil mengumpulkan Rp 700 ribu untuk memeriksakan Satim ke RS dr Goeteng Taroenadibrata (RSUD Wirasana) sekaligus memberi “sangu” untuk yang menjaganya selama opname. Kini Satim sudah dirumah.

Hakim mengatakan, kondisi anak-anak itu sungguh ironis. Terlebih di tengah penggalakan program Wajar Dikdas. "Negara ada dimana?" tanyanya yang pernah melakukan bakti sosial di Cendana, 2006 silam, retoris.

Hingga kini, kendati "Wajar Dikdas Sembilan Tahun" terus menggaung. Bahkan sudah hampir melangkah ke Wajar 12 tahun, nasib anak-anak di daerah pinggiran semacam Desa Cendana, yang terletak di kaki Gunung Slamet masih sama.

Opi masih merangkat rambut-rambut di benang yang direntangkan sepanjang 20 centimeter, untuk dijadikan bulu mata. Sementara itu, Satim masih meringis kesakitan atas oleh-oleh dari Kota Jakarta, penyakit Thipus.

Dimuat di HU Suara Merdeka tanggal 3 Oktober 2011
Judul: Di sana Program Menggaung, Meringis di sini
Rating: 100% based on 99998 ratings. 5 user reviews.
Writen ByUnknown

Thaks For Visiting My Blogs

0 comments "Di sana Program Menggaung, Meringis di sini", Baca atau Masukkan Komentar

Post a Comment