Bicara ruang fisik terkait ekspresi dan apresiasi seni di Kabupaten Purbalingga tak terlepas dari kabupaten-kabupaten tetangga di wilayah Banyumas Raya. Penamaan istilah Banyumas Raya merujuk pada kabupaten eks-karesidenan Banyumas, yaitu di empat kabupaten (Banyumas, Purbalingga, Cilacap, dan Banjarnegara), yang ruang berkeseniannya tidak menggembirakan. Kondisi demikian terjadi sudah sejak lama.
Praktis diantara empat kabupaten itu hanya Banyumas, tepatnya Purwokerto sebagai pusat pemerintahan kabupaten Banyumas, yang memiliki gedung kesenian. Itu pun tidak berfungsi dengan baik.
Konflik vertikal dan horisontal kental melingkupi sehingga gedung kesenian bernama Sutedja (nama itu diambil dari komponis se-zaman Ismail Marzuki asal Banyumas) seperti mangkrak. Jarang sekali ada peristiwa kesenian di gedung berarsitek Belanda itu. Selain kondisinya yang kurang terawat, sistem pemanfaatan gedung pun tidak dibuat dengan baik.
Bila Banyumas sebagai kabupaten yang paling maju di Banyumas Raya saja tidak memberikan kenyamanan ruang bagi seniman dan apresiannya, apalagi di tiga kabupaten lain? Kemajuan Purwokerto sebagai ibukota Kabupaten Banyumas secara fisik terlihat dari pesatnya perdagangan dan menjadi pusat pendidikan dengan bertebarannya kampus.
Kabupaten Cilacap yang secara geografis berada di pesisir pantai selatan menjadi pusat berdirinya perusahaan-perusahaan nasional dan BUMN (Badan Usaha Milik Negara) seperti semen Holcim dan Pertamina. Kondisi menguntungkan ini ternyata masih belum berpihak pada pelaku seni di Cilacap.
Tanpa Gedung Kesenian
Kondisi Kabupaten Banjarnegara tak jauh beda dengan Kabupaten Purbalingga. Pusat kota kedua kabupaten ini relatif tenang, terlebih di malam hari. Lewat jam 9 malam, pertokoan tutup, kota sepi, bahkan boleh dibilang mati. Hanya menyisa beberapa titik pusat kuliner.
Hal yang membedakan, Purbalingga dikenal lebih marak pembangunan fisik. Meski realitanya masih terpusat di kota. Jalan, patung, taman kota, dan gedung-gedung mercusuar, beberapa proyek bangunan pariwisata. Belum lagi pabrik-pabrik yang turut didirikan di pusat kota. Kenyataan fisik ini berhasil membuai mata orang akan sebuah keberhasilan.
Di tengah kesemrawutan konsep tata kota Purbalingga ternyata tidak bisa ditemukan bangunan yang diperuntukkan bagi kaum seniman dan para apresiannya. Bila dihitung, ada belasan gedung baik milik instansi pemerintah maupun swasta. Namun, gedung-gedung itu setipe. Hanya pas untuk pernikahan selebihnya untuk pertemuan dan rapat partai.
Belum dibutuhkan seluas taman budaya sebenarnya. Sebuah gedung sederhana yang representatif bagi kehadiran peristiwa budaya, cukup sudah. Sehingga tak lagi orang mengeluh lepas jam 9 malam kota menjadi mati tanpa tempat hiburan karena jelas tanpa mal dan gedung bioskop.
Tanpa bermaksud membandingkan, fasilitas gedung lebih banyak untuk bidang olahraga. Terakhir sebuah gelanggang olahraga (gelora) dibangun megah bernama Goentoer Darjono yang menjadi pusat kegiatan olahraga di Purbalingga. Banyak gedung lain yang juga dimanfaatkan sebagai pusat olahraga seperti GOR Mahesa Jenar. GOR tersebut bahkan sempat menjadi venue bagi Purbalingga Film Festival ditahun 2008.
Nasib kesenian, baik modern apalagi tradisi, selalu terpinggirkan. Seniman harus pandai menyiasati ruang yang ada dan seadanya. Siasat ini terkait teknis dan dana. Bagaimana ruang-ruang yang tidak representatif itu menjadi ‘lumayan’ sebagai sebuah ruang eksebisi dan tidak banyak menghabiskan dana.
Ruang Pemutaran Film
Sejak tahun 2004, konsentrasi berkesenian anak muda Purbalingga bergeser ke cabang seni baru bernama sinematografi. Film pendek menjadi pilihan mereka berekspresi dan berkarya. Basis terkuat di kalangan pelajar SMA, karena tidak ada kampus di Purbalingga. Selain beberapa kelompok produksi film non-pelajar.
Sebuah komunitas bernama Cinema Lovers Community (CLC) terbentuk melakukan kerja-kerja fasilitasi. Selain produksi, komunitas ini juga menjalankan program workshop, eksebisi (pemutaran) dan distribusi karya. Sejak 2007 hingga saat ini, program festival film pun digelar.
Banyak kendala yang dialami CLC dalam menjalankan program pemutaran film. Ketiadaan gedung (ruang) kesenian membuat para pegiat film harus panjang akal. Setiap kali menggelar program pemutaran di ruang tertutup (indoor) pegiat berusaha menyulap ruangan menjadi bioskop. Hanya sering kali pengap karena tidak ada fasilitas pendingin.
Pilihan ruang pemutaran lain dengan menjalin kerjasama dengan café. Meskipun secara teknis, permutaran film di café jauh dari nyaman, paling tidak menjadi pilihan ruang bagi pengkarya dan pilihan tontonan bagi apresian.
Gerilya para pegiat film Purbalingga tidak hanya ke sekolah-sekolah untuk memutar film di ruang-ruang kelas dan menggelar workshop. Mereka juga menyambangi masyarakat hingga pelosok desa memberi tontonan alternatif dengan media layar tancap.
Layar tancap bagi pegiat film Purbalingga menjadi ruang putar yang ampuh. Disamping mampu menyerap banyak penonton, layar tancap juga menjadi tontonan warga yang relatif aman. Keamanan disetiap gelaran kesenian menjadi kendala tersendiri bagi para seniman karena menjadi makanan empuk aparat kemanan dengan jalan mempersulit izin pentas.
Persoalan perizinan keamanan yang menjadi salah satu kendala besar tentu tidak akan ada bila pemerintah daerah dengan kebijakannya memfasilitasi warga berupa gedung kesenian yang pembangunan dan sistem pemanfaatannya melibatkan kaum seniman dan masyarakat.
Bowo Leksono
Pegiat film, tinggal di Purbalingga
Judul: Menyoal Ruang Berkesenian di Purbalingga
Rating: 100% based on 99998 ratings. 5 user reviews.
Writen ByUnknown
Thaks For Visiting My Blogs
Rating: 100% based on 99998 ratings. 5 user reviews.
Writen ByUnknown
Thaks For Visiting My Blogs
0 comments "Menyoal Ruang Berkesenian di Purbalingga", Baca atau Masukkan Komentar
Post a Comment