Di tengah terik mentari, belasan perempuan berjajar di pelataran depan dan samping rumah, bermodalkan bambu yang dibuat gawangan kecil atau alas seadanya menjajakan bakal gerabah (tembikar) yang masih basah karena baru saja selesai dibentuk dari tangan-tangan trampil mereka.
Para perempuan yang sebagian lanjut usia itu kembali duduk di balik pintu atau pojokan rumah ‘menyulap’ adonan tanah liat (lempung) dan pasir lembut menjadi bermacam bentuk gerabah. Demikian gambaran saban hari sebagian besar warga di Grumbul Sambirata, Desa Wanogara Kulon, Kecamatan Rembang, Kabupaten Purbalingga. Pekerjaan ini dilakukan sebagai pengisi waktu luang. Selain menjadi pengrajin gerabah, pekerjaan lain warga adalah petani dan buruh tani.
Menurut pengakuan sebagian warga Sambirata yang 44 dari 92 kepala keluarga berprofesi sebagai pengrajin gerabah, ketrampilan mereka berasal dari turun-temurun. Tidak ada yang tahu dengan pasti kapan awal mula warga menekuni kerajinan ini.
“Sembarang sedurunge jaman Landa. Anane gerabah neng kene merga turunan sekang turki, turunan kaki-nini (Sejak sebelum zaman penjajahan Belanda. Adanya gerabah di sini karena turunan dari “turki”, turunan kakek-nenek-red),” tutur Komeng (65), nenek yang sehari mampu membuat hingga 100 gerabah dengan bermacam bentuk.
Komeng seperti juga pengrajin lain, mahir membentuk gerabah hanya dari melihat ketrampilan orang tua mereka. Semua pembuat gerabah di Grumbul Sambirata adalah kaum Hawa yang sudah tak terhitung muda lagi sementara kaum laki-laki atau para suami membantu kebutuhan lain, seperti mencari bahan baku berupa tanah liat dan pasir serta kayu bakar.
Untuk mendapatkan bahan baku berupa tanah liat, diambil dari tanah milik warga yang letaknya tak jauh dari grumbul yang juga masuk Dusun III Desa Wanogara Kulon itu. Dengan membayar sesuai kemampuan antara Rp 10 ribu hingga Rp 50 ribu per tahun, warga bebas mengambil tanah liat. Sementara bahan pasir diambil secara gratis dari sungai-sungai terdekat. Warga di dusun berpenduduk 442 jiwa itu biasa berkelompok mengambil tanah liat dan pasir pada jam 9 pagi atau jam 4 sore hari.
Bila cuaca mendukung untuk pengeringan, pengrajin mampu membakar gerabah sepekan sekali. Dalam sekali pembakaran, membutuhkan waktu kurang dari satu jam untuk sekitar 500 gerabah mentah. Hasil gerabah yang bagus adalah gerabah yang matang saat pembakaran yaitu berwarna oranye.
Peralatan untuk membuat gerabah tergolong sederhana, yaitu prabot atau papan kayu berbentuk bundar untuk pemutar dan besi penyangga serta as pemutar di bagian bawah, kerik dari bambu yang dibuat melingkar untuk menghaluskan, kisik dari batu untuk membersihkan, serta dalim dari kain.
Taraf Hidup Tak Meningkat
Gerabah produk Sambirata sebenarnya tidak mempunyai kendala soal pemasaran. Namun, para pengrajinnya tidak pernah meningkat taraf hidupnya. Ini disebabkan karena harga jual ke pengepul teramat rendah. Seperti misalnya jenis layah hanya dibeli pengepul seharga Rp 500, kendil Rp 1.500, kekeb dan sangan Rp 2.000, gogok Rp 2.500. Sementara pengepul menjual ke pasaran bisa lima bahkan sepuluh kali llipat.
Mawiarja (70) tidak pernah protes terhadap rendahnya harga gerabah buatannya. Nenek yang sejak muda setia membuat gerabah ini membuat gerabah sekedar mengisi waktu luang. “Pekerjaan ini sudah bertahun-tahun, daripada tidak ada yang dikerjakan di rumah,” ujar nenek yang seharinya mampu menyelesaikan satu kodi (20-30) gerabah.
Di Dusun Sambirata terdapat sekitar empat pengepul gerabah. Mereka sudah memiliki jaringan hingga ke luar kota, seperti Banyumas, Banjarnegara, Cilacap, Wonosobo, Pemalang dan kota-kota lain bahkan hingga ke Jambi.
Menurut salah satu pengepul, Prayogi (50), mengirim gerabah dengan menggunakan truk pribadinya dalam sebulan antara empat sampai lima kali. Kerap juga mengirim pesanan jenis kendil untuk tempat menyimpan ari-ari (plasenta) ke rumah-rumah sakit dan puskesmas seperti ker RSUD Goeteng Taroenadibrata Purbalingga, RS Ummu Hani Purbalingga, RSUD Margono Purwokerto, dan Puskesmas-Puskesmas di daerah Bumiayu. “Dalam sebulan pendapatan kotor bisa mencapai Rp 12 juta,” kata lelaki yang mengaku terjun sebagai pengepul sejak 1985 ini.
Hanya sedikit warga yang mengambil jalan pintas pemasaran dengan cara menjual secara langsung baik di pasar-pasar tradisional maupun dengan cara berkeliling. Pengeluaran dan tenaga yang dikeluarkan pada akhirnya tak sebanding dengan hasil yang diperoleh.
Paguyuban Pengrajin Gerabah Mugi Lestari yang semestinya membantu nasib para pengrajin malah mandul setelah ditinggalkan ketuanya ke Jakarta. “Dulu sebulan sekali anggota paguyuban berkumpul untuk menentukan harga jual ke pengepul sekaligus iuran simpan-pinjam,” kata Madroji (52), mantan ketua paguyuban yang sekaligus kepala dusun (kadus) III.
Tak Diminati Kaum Muda
Rendahnya harga gerabah berakibat tidak ada satu pun kaum muda di Grumbul Sambirata yang berminat meneruskan tradisi turun-menurun ini. Pemuda, laki-laki dan perempuan, sama halnya di daerah-daerah lain, memilih mengadu nasib hijrah ke kota besar macam Jakarta.
Seperti halnya Rochyati (16), remaja yang masih duduk di kelas XI SMA Negeri Rembang Purbalingga ini mengaku belajar membuat gerabah sejak Sekolah Dasar dari ibunya. Namun, ia pun berkehendak menyusul kakak-kakaknya yang sudah lebih dulu ke Jakarta. “Membuat gerabah itu habis di tenaga dan waktu, sementara hasilnya tidak seberapa,” ungkap perempuan yang bercita-cita menjadi guru.
Tidak hanya Rochyati, beberapa remaja lain yang duduk di SD dan SMP pun sudah mampu membuat gerabah. Mereka menginginkan ada inovasi produk agar bernilai jual tinggi karena selama ini, gerabah Sambirata masih tergolong tradisional.
Madroji menceritakan, beberapa kali Pemerintah Kabupaten Purbalingga mengajak para pengrajin studi banding ke pusat kerajinan gerabah Kasongan, Bantul, DIY. “Tidak cuma itu, Pemkab juga memberi bantuan berupa alat penghalus tanah liat dan pasir dan prabot serta modal uang,” ungkapnya.
Para pengrajin menilai yang dilakukan Pemkab tak banyak membantu. Bolak-balik studi banding tidak menjadikan pengrajin menghasilkan ragam produk gerabah modern. Bahkan, bantuan alat mangkrak karena tidak sesuai pemakaian.
Selama ini, nenek moyang warga Sambirata mengajari keturunannya secara alami tanpa belajar formal sebagai modal hidup. Pemkab atau pihak manapun tidak bisa serta-merta membantu tanpa tahu kemampuan dan keinginan para pengrajin.
Oleh: Canggih Setiawan, Heri Afandi, Sinta Kurniawati (pelajar SMA Negeri Rembang Purbalingga)
Editor: Bowo Leksono
Judul: Gerabah Sambirata Purbalingga Berasal dari “Turki”
Rating: 100% based on 99998 ratings. 5 user reviews.
Writen ByUnknown
Thaks For Visiting My Blogs
Rating: 100% based on 99998 ratings. 5 user reviews.
Writen ByUnknown
Thaks For Visiting My Blogs
0 comments "Gerabah Sambirata Purbalingga Berasal dari “Turki”", Baca atau Masukkan Komentar
Post a Comment